02 September 2013

REVIEW: FORDISMAN II Bedah Film ‘A Beautiful Mind’

Jakarta - HIMAJAN UNAS

Pada tanggal 11 juni 2013 yang lalu, HIMAJAN telah menyelenggarakan rangkaian program kerja berbasis diskusi ilmiah, Forum Diskusi Mahasiswa Administrasi Negara (FORDISMAN) yang kedua kalinya. Dalam FORDISMAN II ini, kegiatan yang berlansung dikemas dengan konsep yang berbeda, yakni Bedah Film. Bedah film ditujukan untuk menciptakan iklim diskusi yang lebih baik dengan memahami film sebagai obyek diskusi. Film yang dipilih untuk menjadi bahan tontonan dan diskusi kali ini berjudul A BEAUTIFUL MIND, sebuah film karya sineas AS, Ron Howard. Film ini merupakan visualsasi dari buku karya Sylvia Nasar. Kisah yang mengalir dalam film ini mengenai lika-liku kehidupan ahli matematika pemenang Penghargaan Nobel pada tahun 1994, John Forbes Nash. Pemeran utama dalam film ini adalah Russel Crowe yang berperan sebagai John Nash. 

John Nash adalah seorang matematikawan jenius tapi tak simpatik dan agak apatis. Dimulai tahun 1947 ketika dia bersekolah di perguruan tinggi Princeton dengan mendapat beasiswa Carniege. Ia merupakan mahasiswa yang unik, ia tidak menyukai perkuliahan dan suka membolos, karena menurutnya berkuliah hanya membuang waktu saja dan mengekang kreativitas seseorang, dan hanya membuat otak menjadi tumpul. Nash lebih suka belajar secara otodidak, memahami dan memecahkan dinamika pergerakan natural melalui pemikirannya sendiri yang sangat kreatif. Nash lebih banyak meluangkan waktu di luar kelas demi mendapatkan ide orisinil untuk meraih gelar doktornya. Akhirnya dia berhasil diterima di pusat penelitian bergengsi, Wheeler Defense Lab di MIT. Di lain sisi Nash mengidap penyakit gangguan jiwa skizofrenia yaitu suatu gangguan jiwa dimana penderitanya tidak bisa membedakan antara halusinasi dan kenyataan. Sebenarnya penyakitnya tersebut sudah dideritanya sejak dia berada di Princeton, namun semakin parah ketika ia mengajar di MIT. 

Hidup Nash mulai berubah ketika ia diminta Pentagon memecahkan kode rahasia yang dikirim tentara Soviet. Di sana, ia bertemu agen rahasia William Parcher. Dari agen rahasia tersebut, ia diberi pekerjaan sebagai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi sampai ia lupa waktu dan hidup di dunianya sendiri. Kehidupan seorang John Nash terus berliku hingga akhirnya ia mengalami beberapa kali depresi akibat keretakan rumah tangga dengan keluarganya. Tetapi walau bagaimanapun, kekuatan cinta dan rasa sayang kuat yan dimiliki oleh istrinya tidak dapat tergoyahkan. Sang istri tetap mendampingi Nash melawan penyakitnya.

Bedah film yang ini pun mendapat apresiasi positif dari beberapa peserta melalui diskusi interaktif yang berlangsung setelah pemutaran film usai. Kedepannya, kegiatan-kegiatan semacam ini akan terus dilakukan oleh HIMAJAN UNAS untuk dapat melatih dan memaksimalkan potensi intelektual yang dimiliki para mahasiswa Administrasi Negara secara khusus. (ast/dms/dbs)