18 Maret 2013

Dialog Terbuka, Solusi Terbaik Untuk Masalah Papua



Untuk memahami dan memaknai pokok permasalahan yang terjadi di Tanah Papua merupakan hal yang sangat kompleks dan sukar ditemukan ujung pangkalnya. Pernyataan senada sering dijumpai di bagian awal pada buku maupun tulisan-tulisan yang mengangkat topik tentang konflik di Papua dan solusi penyelesaiannya. Tentu saja ini dapat dimaklumi karena para penulis, ahli dan pemerhati yang mengadakan studi maupun penelitian tentang konflik di Papua, terutama orang amber (non-Papua), pada umumnya tidak mampu merasakan apa yang dirasakan dan diinginkan orang Papua. Sehingga kebanyakan orang Indonesia, yang tentunya awam tentang Papua, sepakat bahwa yang terjadi di Papua adalah permasalahan tentang kesejahteraan, pembangunan, ekonomi, pendidikan, sampai pada keamanan, separatis dan terorisme. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya dapat dikatakan salah, tapi sepenuhnya tidak dapat dibenarkan. Namun untuk menyimpulkan tentang ‘apa yang dirasakan dan diinginkan orang Papua’ dibutuhkan lebih dari sekedar riset 1-2 tahun, tidak pun juga dengan menceriterakan pengalaman hidup beberapa belas tahun seorang prajurit TNI atau pejabat pemerintahan, yang mungkin dengan rasa terpaksa menerima tugas untuk berdinas di Papua. Dengan alasan itu pula maka hingga detik ini ada semacam rasa ketidakpuasan orang Papua terhadap Indonesia, dalam hal ini Jakarta, yang memunculkan ketidak percayaan akan semua bentuk ‘kebaikan’ yang ditawarkan pemerintah Jakarta.

Pemerintah pusat pun telah banyak melakukan berbagai macam pendekatan-pendekatan untuk membangun kepercayaan dari orang Papua yang telah dilakukan pada masa pemerintahan yang lalu (sebelum SBY) hingga sekarang, namun dengan berat dapat saya katakan disini bahwa semua itu belum menghasilkan sesuatu yang berarti. Kini di era reformasi ini, dengan diberikannya Otonomi Khusus (Propinsi Papua & Papua Barat) menurut saya sendiri sedikit banyak telah memberikan perubahan bagi peningkatan kesejahteraan di berbagai aspek kehidupan. Walaupun masih banyak ditemukan misalnya sekolah-sekolah di pedalaman yang sangat minim tenaga pengajar, atau juga ibu hamil yang harus bersalin sendiri karena tak tersentuh pelayanan medis. Untuk itu tak dapat dipungkiri pula bahwa banyak juga yang berpendapat bahwa ‘Otsus Papua telah gagal’. Untuk yang terakhir ini (Otsus) saya tidak mengatakan telah gagal, namun menganggapnya sebagai suatu bentuk ‘tawar-menawar’ pemerintah Indonesia dengan orang Papua. Yang sejujurnya bahwa Jakarta terkesan setengah hati dalam memenuhi tuntutan dasar orang Papua. Dalam artian jika pemerintah Jakarta memang benar-benar ingin mengakhiri secara tuntas akar permasalahan di Papua, maka yang diperlukan terutama adalah niat baik yang tulus serta konsistensi untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan terjadi di Tanah Papua.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini, pun dengan adanya peristiwa-peristiwa yang tidak kita inginkan bersama mulai dari unjuk rasa, mogok kerja, kerusuhan, perang suku, dll, hingga terakhir penembakan yang menjatuhkan korban jiwa, Papua kembali diperbincangkan dalam rangka langkah-langkah kebijakan apa yang harus diambil Jakarta untuk meredamnya dari sorotan internasional. Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah penegakan hukum dengan jalan mengusut tuntas kasus-kasus yang terjadi. Yang pastinya mengarah pada pengejaran, penangkapan, penahanan, mungkin juga penyiksaan, dan mengadili oknum-oknum yang dinilai merupakan pengganggu keamanan dan mengancam kedaulatan negara Indonesia, tentunya mengatas namakan hukum Indonesia. Jika ini ‘terpaksa’ dilakukan maka yang akan menjadi korban adalah lagi-lagi orang Papua, yang sejak lama memang seperti begitu.

Namun dengan alasan apapun juga kita semua harus menyadari bahwa kekerasan dalam bentuk apapun dengan mengatas namakan hukum manapun, sudah sangat tidak relevan terjadi dalam perkembangan peradaban manusia saat ini. Dan juga pemerintah Jakarta pasti tidak seceroboh itu untuk secara terbuka mengambil langkah militer. Disamping sebagai pencitraan supaya dianggap sudah tidak lagi menggunakan kekerasan di Tanah Papua, juga (lagi-lagi) untuk menghindari sorotan dunia internasional. Yang mana sangat mengancam bila ada oknum-oknum tertentu (yang disebut separatis oleh militer Indonesia) yang mendapat dukungan dari dunia internasional.

Opsi lain yang sangat mungkin dilakukan adalah dialog, yang lebih populer di Indonesia disebut musyawarah. Wacana mengenai dialog ini pun bukan hal yang baru. Telah banyak utusan-utusan dari Papua yang melakukan dialog-dialog dengan pemerintah Indonesia, namun sekali lagi itu belum bisa menyelesaikan gejolak-gejolak yang terjadi.

Sampai sekarang pun belum ada dialog terbuka dengan orang Papua yang mampu mengakomodir semua aspirasi. Dialog terbuka yang saya maksud disini adalah perwakilan orang Papua (tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa) yang duduk bersama seluruh stake holder di Indonesia yang berkepentingan di Papua, dan tentu saja harus difasilitasi oleh sebuah organisasi internasional atau pun satu negara yang bersifat netral, bukan Australia maupun Belanda, apalagi Amerika. Kalau ini bisa dilakukan dan pemerintah Jakarta benar-benar tulus mau melihat orang-orang Papua hidup dalam damai, niscaya bukan hal yang mustahil semua cita-cita luhur dan kehidupan cerah di masa depan bukan lagi menjadi mimpi. 
 
(Jan Christi Sihombing, Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara UNAS, Angkatan 2011)

11 Maret 2013

Wakili Indonesia di Austria, Mahasiswa UNAS Usulkan Poin Penting untuk UNAOC


UNAOC diharapkan dapat memastikan pendidikan etika, agama, spiritual itu sudah diajarkan sejak dini baik dalam pendidikan formal maupun informal.

Jakarta (UNAS) - Berhasil terpilih menjadi satu - satunya pemuda yang mewakili Indonesia dalam acara 5th Global Forum United Nation Alliance of Civilization (UNAOC) rupanya menjadi kesempatan besar bagi mahasiswa program studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional, I Gede Pandu Wirawan untuk bisa membagikan pengalamannya tentang Indonesia dengan delegasi lain lintas negara di dunia.
Terbukti, dalam kegiatan tersebut, Pandu bersama 149 pemuda lain dari berbagai negara mendiskusikan dan bertukar informasi seputar kondisi yang terjadi di negara masing - masing dan terkait tiga isu utama yang diangkat yaitu religious freedom in a context of religious pluralism, media pluralism, dan migration, integration and mobility in the global economy. "Selama acara berlangsung, kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan setelah mendengar pembukaan dari Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, semua peserta pun fokus berdiskusi dan mendengarkan satu sama lain tentang isu yang telah dipilih," Jelas Pandu saat ditemui Kamis (7/3).
Tidak hanya berdiskusi, selama empat hari sejak 25 - 28 Februari di Vienna, Austria, Pandu pun membuat beberapa rekomendasi penting yang akan dikumpulkan oleh moderator acara dan rencananya rekomendasi dari tiap kelompok diskusi tersebut akan dibacakan dihadapan para pejabat, pengambil kebijakan, dan Sekjen PBB, Ban Ki-Moon. "Kelompok saya memang terfokus pada bidang hukum tentang religious pluralism. Setelah selesai diskusi, akhirnya dapat membuat dua rekomendasi penting untuk bisa dibagikan dan mudah-mudahan bisa disetujui dan direalisasikan kedepannya," imbuh Pandu.
Rekomendasi yang berhasil diusulkan dan diramu untuk PBB oleh Pandu dan kelompoknya, yaitu pertama adalah UNAOC diharapkan dapat memastikan pendidikan etika, agama, spiritual itu sudah diajarkan sejak dini baik dalam pendidikan formal maupun informal dan kedua yakni UNAOC juga diharapkan dapat memastikan adanya hak kebebasan untuk hati nurani, berfikir, beragama dan praktek keagamaan, serta keimanan/keyakinan, spiritual yang dilindungi dalam bernegara dan bermasyarakat. "Semua rekomendasi ini adalah untuk kepentingan bersama, jadi harus dapat merangkul semua negara," pungkas Pandu.
Lebih lanjut, Pandu pun berharap bahwa rekomendasi - rekomendasi yang diusulkan dapat disebarluaskan kepada seluruh pimpinan ataupun pemerintah di negara - negara dunia, juga Indonesia sehingga dapat diimplementasikan dan memberikan dampak besar bagi kedamaian dunia.

Mahasiswa UNAS, Kolaborasi dengan 149 Mahasiswa Mancanegara Bahas 'Religious Freedom' di Vienna

Pandu beserta delegasi lain yang berasal dari Amerika, Nigeria, India, Austria, dan Afghanistan ini membahas permasalahan yang terjadi di negara masing - masing seperti kekerasan, diskriminasi dan pembatasan - pembatasan dalam lingkup beragama.

Jakarta (UNAS) - Menjadi mahasiswa yang mampu bersaing tidak hanya di tingkat nasional tapi juga Internasional merupakan harapan setiap orang. Mahasiswa program studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional, berhasil membuktikannya.
Setelah sukses mejejakkan kaki di negeri Paman Sam tahun lalu, I Gede Pandu Wirawan kembali membuktikan pengaruh besar dari keaktifannya di dalam organisasi pendidikan dengan dicapainya kesempatan bertandang ke Vienna, Austria pada Februari lalu. Bukan tanpa tujuan, Pandu besama 149 pemuda lain dari berbagai negara di dunia justru membahas tiga isu besar yakni religious freedom in a context of religious pluralism, media pluralism, dan migration, integration and mobility in the global economy.
"Kami dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan pilihan pada bidang masing - masing saat registrasi awal. Setelah berdikusi panjang lebar, finalnya adalah pembuatan beberapa poin rekomendasi untuk United Nation Alliance of Civilization (UNAOC) yang akan dibacakan dihadapan Sekretariat Jenderal PBB, Ban Ki-Moon keesokan harinya," papar Pandu saat ditemui Kamis (7/3).
Sebelum merumuskan rekomendasi - rekomendasi tersebut, Pandu beserta delegasi lain dalam kelompoknya yang berasal dari Amerika, Nigeria, India, Austria, dan Afghanistan ini membahas permasalahan - permasalahan yang terjadi di negara masing - masing. Diantaranya adalah seputar kekerasan, diskriminasi dan pembatasan - pembatasan dalam lingkup beragama. "Kita juga membahas definisi agama dan keyakinan dari tiap - tiap negara, jika dilihat memang ada beberapa negara yang memiliki kesamaan kondisinya dengan Indonesia, salah satunya adalah tentang kekerasan yang mengatas namakan agama," imbuh mahasiswa yang baru saja menyelesaikan studi S1 Hubungan Internasional itu.
Tidak hanya Indonesia, Pandu pun mendapat berbagai informasi menarik seputar kondisi di negara lainnya. Contohnya saja di Jerman yang membatasi penggunaan simbol - simbol agama pada fasilitas - fasilitas umum atau tempat - tempat tertentu seperti sekolah, kampus, dan lainnya. "Saat dikusi berlangsung, delegasi negara Myanmar juga mengkonfirmasi tentang kasus Rohingya yang sebenarnya tidak serumit yang diberitakan di media," pungkas Pandu.

08 Maret 2013

UNAS Raih B Untuk Reakreditasi Institusi


Hasil reakreditasi ini merupakan salah satu fungsi adanya program kerja yang tertata di Unas. Karena selain sebagai komponen penilaian dalam reakreditasi, program - program kerja Unas juga merupakan bukti nyata peranan institusi dalam dunia pendidikan.

Jakarta (UNAS) - Di usia 63 tahun, Universitas Nasional sebagai perguruan tinggi swasta tertua di DKI Jakarta senantiasa menjaga eksistensi dan kualitasnya. Hal ini terbukti dengan diraihnya reakreditasi (akreditasi ulang) institusi dengan nilai "B" dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Staff Ahli Rektor bidang Akreditasi, Dra. Retno Widowati, M.Si dalam pesan singkatnya beberapa waktu lalu mengungkapkan, berdasarkan Surat Keputusan BAN-PT Nomor: 080/SK/BAN-PT/Ak-IV/II/2013 tentang Nilai dan Peringkat akreditasi institusi perguruan tinggi menetapkan Universitas Nasional Jakarta sukses terakreditasi dengan perolehan nilai 311 dan peringkat B (Baik). "Alhamdulillah, hasil reakreditasi ini merupakan salah satu fungsi adanya program kerja yang tertata di Unas. Karena selain sebagai komponen penilaian dalam reakreditasi, program - program kerja Unas juga merupakan bukti nyata peranan institusi dalam dunia pendidikan," papar Wakil Rektor bidang Akademik, Dr. Moch Rum Alim, S.E.,M.Si dalam acara visitasi Rektorat pada Selasa, (26/2).

Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas Nasional, Drs. El Amry Bermawi Putera, M.A juga mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada seluruh sivitas akademika yang telah turut serta membantu dan bekerjasama dalam mempersiapkan proses reakreditasi yang dilaksanakan pada 17 - 18 Desember 2012 lalu. "Alhamdulillah UNAS berhasil mendapatkan peringkat reakreditasi B. Nilai ini merupakan hasil kerja keras kita sebelumny, saya harap pada reakreditasi mendatang ada beberapa hal yang akan diperbaiki serta ditingkatkan," imbuh El Amry.

Sebelumnya, tim asesor BAN-PT telah melakukan visitasi pembaruan akreditasi selama dua hari, pada 17 - 18 Desember 2012. Tim asesor BAN-PT tersebut terdiri dari Prof. (ret).Dr.Ir.Kapti Rahayu Kuswanto dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof.Dr. Sumartono,MS dari Universitas Brawijaya, Prof. De. Sarwiji, M.Pd dari Universitas Sebelas Maret Solo, dan Prof. Dr. Etty R. Agoes SH,LL.M Universitas Padjajaran Bandung.

Pada kesempatan tersebut, tim asesor BAN-PT melakukan visitasi dengan menilai seluruh fasilitas, sarana, dokumen hingga melakukan wawancara kepada seluruh perwakilan sivitas akademika Universitas Nasional, contohnya saja mereka mendatangi perpustakaan, laboratorium, dan kelas - kelas yang dijadikan sebagai tempat perkuliahan mahasiswa.

Dalam penutupan proses visitasi, tim asesor BAN-PT, Prof. Kapti mengungkapkan bahwa fasilitas dan aktifitas keseluruhan di Universitas Nasional sudah cukup baik. Sehingga kedepannya diharapkan pengembangan Unas akan lebih baik lagi dari apa yang telah ada.

Suryo AB: Rajin- Rajin Tanamkan Kata "Mengapa" dalam Diri

Jakarta (UNAS) - Penelitian dalam bahasa yang sangat sederhana adalah mengurai ide dan gagasan atas sebuah situasi dan fenomena. Membaca tanda-tanda akan adanya suatu persoalan secara langsung dan atau tidak langsung, baik yang sudah terjadi, sedang dan akan terjadi. Sehingga yang diperlukan adalah keahlian untuk membuat rangkaian pertanyaan atau biasa dikenal dengan nama pohon masalah, dimana satu pertanyaan jika sudah terjawab akan dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya.
Hal tersebut dipaparkan oleh narasumber, Suryo AB, M.DES dalam kegiatan pelatihan riset dan penulisan karya ilmiah mahasiswa Universitas Nasional yang digelar oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unas di ruang Seminar, Selasar Blok 1, Lantai 3, Rabu (6/3).

"Sering - sering tanamkan kata "why" dalam diri sendiri, karena ketika jawaban atas "why" terpenuhi tentu akan terus bersusulan pertanyaan kenapa - kenapa yang lain,? imbuh Suryo.

Lebih lanjut, pria yang juga aktif sebagai dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas ini mencoba menggenjot semangat mahasiswa dalam melakukan riset dan penulisan karya ilmiah. Suryo menjabarkan tiga hal penting yang membedakan antara orang yang bersekolah dan yang tidak, diantaranya adalah seorang yang mengenyam pendidikan dengan bersekolah akan belajar untuk konsisten atau memiliki komitmen yang kuat, selain itu mereka juga memiliki keserdasan yang bukan hanya kepintaran, dan yang terakhir dengan bersekolah akan melembutkan hati.

"Argumen - argumen yang dikeluarkan oleh orang - orang yang bersekolah akan terasa enak didengar dan masuk akal," pungkas Suryo.

Pada kesempatan yang sama, salah satu peserta, Dea menanyakan bagaimana menuliskan tiap argumen yang ada dalam pikiran sehingga menjadi satu tulisan yang membangun dan bermanfaat. Menjawab hal tersebut, Suryo menjelaskan bahwa penulis sehebat apapun pasti pernah mengalami kebuntuan untuk menuliskannya. Hal ini terkenal dengan nama "teror kertas putih". Solusinya adalah dengan terus berlatih untuk menulis.

"Menulis itu harus dipaksa, jika sudah terbiasa baru dituliskan poin - poin yang akan dituangkan atau dibuatkan dulu pohon masalahnya. Satu hal yang harus diingat, dalam menulis harus dilihat siapa target pembaca, sehingga pemilihan kata juga harus tepat dan tidak berbelit - belit," papar Suryo.

Mau Menulis Karya Ilmiah? Ini Dia Caranya

Jakarta (UNAS) - Universitas Nasional, sebagai institusi pendidikan yang gencar melakukan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah, rupanya tidak hanya terbatas pada dosen - dosen dan peneliti aktif saja melainkan juga mahasiswa - mahasiswa lintas Fakultas. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya pelatihan riset dan penulisan karya ilmiah mahasiswa Universitas Nasional yang diadakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unas selama dua hari.

"Ujung dari sebuah proses penelitian adalah penulisan karya atau artikel ilmiah. Hal ini harus dibiasakan, karena ada pepatah yang mengatakan bahwa bisa karena biasa. Jadi, jangan takut dan khawatir menghadapi sesuatu yang belum menjadi keahlian kita. Jalani saja, dimana ada niat yang baik pasti ada jalannya," papar Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Nasional, Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S.,A.pt disela paparannya pada acara pelatihan riset dan penulisan karya ilmiah mahasiswa di ruang Seminar, Selasar Blok I Lantai 3, Kamis (7/3).

Dalam presentasinya, Prof. Erna menjelaskan beberapa hal terkait dasar - dasar penulisan karya ilmiah. Menurutnya, tulisan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu fiksi yang merupakan tulisan dari daya khayal dan biasanya tanpa informasi atau sumber - sumber yang akurat, dan tulisan non fiksi yang merupakan tulisan atau pelaporan dari suatu hal yang membutuhkan data yang akurat.

"Dalam pelatihan ini kita tentu akan terfokus pada penulisan non fiksi dan jenis tulisan - tulisan non fiksi tersebut ada yang ilmiah, populer, dan ada juga yang ilmiah populer. Contoh penulisan ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi," papar Prof. Erna.

Hal terpenting lainnya yang juga dijelaskan adalah unsur - unsur penulisan artikel ilmiah, yakni judul artikel, nama para penulis, afiliasi penulis, kata kunci, pendahuluan, latar belakang, "state of the Art" atau tinjauan pustaka yang menguraikan sejauh mana orang lain telah membahas persoalan yang diteliti, permasalahan, tujuan, nilai penting, manfaat, urgensi penelitian, dan hipotesis. Selain itu, hal lain yang perlu dicantumkan adalah metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran, ucapan terimakasih dan terakhir daftar pustaka. "Untuk daftar pustaka gunakanlah yang 10 tahun terakhir, namun jika memang 10 tahun terakhir itu masih terlalu sedikit ya boleh ditambahkan. Semua tergantung keperluannya seperti apa," imbuh Prof. Erna.

Berbeda dengan artikel ilmiah, unsur - unsur yang ada dalam artikel review, diakui Prof. Erna terdapat beberapa perbedaan. "Dalam artikel review tidak ada metode dan pembahasan hasil penelitian, melainkan langsung memaparkan topik - topik yang dibahas saja," pungkas Prof. Erna.

Opini Mendikbud: Kurikulum 2013

Oleh Mohammad Nuh
KOMPAS.com - Dalam beberapa bulan terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.

Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan Kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013. Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.

Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.

Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan tercapai.

Perencanaan pembelajaran

Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan. Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.

Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses) supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.

Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad Abduhzen, ”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan ”Implementasi Pendidikan”, Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran. Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai ”memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang ditugaskan kepadanya.”

Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.

Mengatakan tak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan tumpang tindih yang tak diperlukan pada beberapa materi mata pelajaran, kecepatan pembelajaran yang tak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berpikir.

Kompetensi inti

Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.

Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.

Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.

Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada ”Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia karena memang tak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana dipertanyakan Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).

Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.

Uraian kompetensi dasar sedetail ini adalah untuk memastikan capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihapalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya.

Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, kegelisahan yang disampaikan L Wilardjo dalam ”Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas, 22/2).

Kedudukan bahasa
Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berpikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berpikir abstrak. Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.

Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.

Dengan cara ini pula, pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta didik. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Rumusannya berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu, ada baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas sebelum mengkritik.


Mohammad Nuh, Mendikbud RI

50 Beasiswa Pascasarjana dari Pemerintah Selandia Baru


JAKARTA, KOMPAS.com — Kedutaan Besar Selandia Baru menawarkan 50 beasiswa bagi mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan studi di Negeri Kiwi tersebut. Program beasiswa ini merupakan bentuk semangat Selandia Baru untuk ikut mengembangkan pendidikan bagi masyarakat Indonesia.

Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia, David Taylor, mengatakan bahwa jumlah beasiswa ini meningkat dibandingkan tahun lalu. Sebelumnya, Kedutaan Besar Selandia Baru hanya menyediakan 15 beasiswa. Namun, karena besarnya minat para calon mahasiswa, kuotanya ditingkatkan menjadi 50 beasiswa.

"Bisa diajukan sekarang hingga April mendatang dan kuliahnya akan dimulai tahun depan. Lebih lengkap bisa buka situs resmi kedutaan," kata Taylor saat jumpa pers di Kedutaan Besar Selandia Baru, Jakarta, Kamis (7/3/2013).

Program ini sendiri bekerja sama dengan ASEAN sehingga diberi nama Selandia Baru-ASEAN Scholars. Beasiswa ini terbuka untuk program master dan doktor di Selandia Baru. Kandidat yang berhak mendaftar juga boleh berasal dari berbagai kalangan, seperti dari sektor masyarakat umum, swasta, dan sipil yang memang bergerak untuk pengembangan Indonesia.

Sayangnya, ketersediaan beasiswa ini masih terbatas pada jenjang master dan doktor saja. Untuk jenjang sarjana atau S-1, pihak Selandia Baru belum mengakomodasi beasiswa sehingga apabila berminat kuliah di Selandia Baru untuk mengambil gelar sarjana, biasanya calon siswa harus mengeluarkan biaya sendiri.

"Untuk S-1, kami memang belum buka kesempatan beasiswa karena dari segi kualifikasinya lebih banyak sehingga kami pilih master dan doktor dulu," jelas Taylor.

Apabila berhasil menempuh proses untuk memperoleh beasiswa, Pemerintah Selandia Baru akan menanggung penuh biaya pendidikan dan akomodasi selama di sana. Dengan demikian, siswa dapat fokus belajar tanpa perlu memikirkan masalah keuangan.

"Kalau dapat beasiswa, biasanya akan kami tutup biaya pendidikannya sehingga yang bersangkutan tak lagi terbebani," tandasnya.