18 Maret 2013

Dialog Terbuka, Solusi Terbaik Untuk Masalah Papua



Untuk memahami dan memaknai pokok permasalahan yang terjadi di Tanah Papua merupakan hal yang sangat kompleks dan sukar ditemukan ujung pangkalnya. Pernyataan senada sering dijumpai di bagian awal pada buku maupun tulisan-tulisan yang mengangkat topik tentang konflik di Papua dan solusi penyelesaiannya. Tentu saja ini dapat dimaklumi karena para penulis, ahli dan pemerhati yang mengadakan studi maupun penelitian tentang konflik di Papua, terutama orang amber (non-Papua), pada umumnya tidak mampu merasakan apa yang dirasakan dan diinginkan orang Papua. Sehingga kebanyakan orang Indonesia, yang tentunya awam tentang Papua, sepakat bahwa yang terjadi di Papua adalah permasalahan tentang kesejahteraan, pembangunan, ekonomi, pendidikan, sampai pada keamanan, separatis dan terorisme. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya dapat dikatakan salah, tapi sepenuhnya tidak dapat dibenarkan. Namun untuk menyimpulkan tentang ‘apa yang dirasakan dan diinginkan orang Papua’ dibutuhkan lebih dari sekedar riset 1-2 tahun, tidak pun juga dengan menceriterakan pengalaman hidup beberapa belas tahun seorang prajurit TNI atau pejabat pemerintahan, yang mungkin dengan rasa terpaksa menerima tugas untuk berdinas di Papua. Dengan alasan itu pula maka hingga detik ini ada semacam rasa ketidakpuasan orang Papua terhadap Indonesia, dalam hal ini Jakarta, yang memunculkan ketidak percayaan akan semua bentuk ‘kebaikan’ yang ditawarkan pemerintah Jakarta.

Pemerintah pusat pun telah banyak melakukan berbagai macam pendekatan-pendekatan untuk membangun kepercayaan dari orang Papua yang telah dilakukan pada masa pemerintahan yang lalu (sebelum SBY) hingga sekarang, namun dengan berat dapat saya katakan disini bahwa semua itu belum menghasilkan sesuatu yang berarti. Kini di era reformasi ini, dengan diberikannya Otonomi Khusus (Propinsi Papua & Papua Barat) menurut saya sendiri sedikit banyak telah memberikan perubahan bagi peningkatan kesejahteraan di berbagai aspek kehidupan. Walaupun masih banyak ditemukan misalnya sekolah-sekolah di pedalaman yang sangat minim tenaga pengajar, atau juga ibu hamil yang harus bersalin sendiri karena tak tersentuh pelayanan medis. Untuk itu tak dapat dipungkiri pula bahwa banyak juga yang berpendapat bahwa ‘Otsus Papua telah gagal’. Untuk yang terakhir ini (Otsus) saya tidak mengatakan telah gagal, namun menganggapnya sebagai suatu bentuk ‘tawar-menawar’ pemerintah Indonesia dengan orang Papua. Yang sejujurnya bahwa Jakarta terkesan setengah hati dalam memenuhi tuntutan dasar orang Papua. Dalam artian jika pemerintah Jakarta memang benar-benar ingin mengakhiri secara tuntas akar permasalahan di Papua, maka yang diperlukan terutama adalah niat baik yang tulus serta konsistensi untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan terjadi di Tanah Papua.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini, pun dengan adanya peristiwa-peristiwa yang tidak kita inginkan bersama mulai dari unjuk rasa, mogok kerja, kerusuhan, perang suku, dll, hingga terakhir penembakan yang menjatuhkan korban jiwa, Papua kembali diperbincangkan dalam rangka langkah-langkah kebijakan apa yang harus diambil Jakarta untuk meredamnya dari sorotan internasional. Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah penegakan hukum dengan jalan mengusut tuntas kasus-kasus yang terjadi. Yang pastinya mengarah pada pengejaran, penangkapan, penahanan, mungkin juga penyiksaan, dan mengadili oknum-oknum yang dinilai merupakan pengganggu keamanan dan mengancam kedaulatan negara Indonesia, tentunya mengatas namakan hukum Indonesia. Jika ini ‘terpaksa’ dilakukan maka yang akan menjadi korban adalah lagi-lagi orang Papua, yang sejak lama memang seperti begitu.

Namun dengan alasan apapun juga kita semua harus menyadari bahwa kekerasan dalam bentuk apapun dengan mengatas namakan hukum manapun, sudah sangat tidak relevan terjadi dalam perkembangan peradaban manusia saat ini. Dan juga pemerintah Jakarta pasti tidak seceroboh itu untuk secara terbuka mengambil langkah militer. Disamping sebagai pencitraan supaya dianggap sudah tidak lagi menggunakan kekerasan di Tanah Papua, juga (lagi-lagi) untuk menghindari sorotan dunia internasional. Yang mana sangat mengancam bila ada oknum-oknum tertentu (yang disebut separatis oleh militer Indonesia) yang mendapat dukungan dari dunia internasional.

Opsi lain yang sangat mungkin dilakukan adalah dialog, yang lebih populer di Indonesia disebut musyawarah. Wacana mengenai dialog ini pun bukan hal yang baru. Telah banyak utusan-utusan dari Papua yang melakukan dialog-dialog dengan pemerintah Indonesia, namun sekali lagi itu belum bisa menyelesaikan gejolak-gejolak yang terjadi.

Sampai sekarang pun belum ada dialog terbuka dengan orang Papua yang mampu mengakomodir semua aspirasi. Dialog terbuka yang saya maksud disini adalah perwakilan orang Papua (tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa) yang duduk bersama seluruh stake holder di Indonesia yang berkepentingan di Papua, dan tentu saja harus difasilitasi oleh sebuah organisasi internasional atau pun satu negara yang bersifat netral, bukan Australia maupun Belanda, apalagi Amerika. Kalau ini bisa dilakukan dan pemerintah Jakarta benar-benar tulus mau melihat orang-orang Papua hidup dalam damai, niscaya bukan hal yang mustahil semua cita-cita luhur dan kehidupan cerah di masa depan bukan lagi menjadi mimpi. 
 
(Jan Christi Sihombing, Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara UNAS, Angkatan 2011)