20 Mei 2013

Mahasiswa Adukan Penggelapan Pajak Rp 45 Miliar

JAMBI, KOMPAS.com - Mahasiswa Jambi yang tergabung dalam Gerakan Bersama Rakyat Kampus berunjuk rasa mengadukan dugaan penggelapan pajak oleh PT NH kepada Kantor Pajak Pratama Jambi, di Jambi, Senin (20/5/2013). Perusahaan diduga tidak membayarkan pajak pertambahan nilai atas seluruh penjualan produk-produk yang dijualnya kepada konsumen selama tiga tahun terakhir hingga mencapai Rp 45 miliar.

Koordinator lapangan Rahmat Hidayat mengatakan, perusahaan merupakan distributor tunggal produk Unilever untuk sejumlah swalayan di wilayah Jambi. Saat ini penyidikan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak pusat. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jambi juga telah diminta melakukan penagihan pada perusahaan. "Setelah menjual produk-produk ini pada sejumlah swalayan, perusahaan tidak membayarkan pajak pertambahan nilai," ujarnya.

Terkait itu, pihaknya meminta Kepala Pelayanan Pajak Pratama Jambi secepatnya memberi penjelasan. Mahasiswa juga meminta aparat mengusut tuntas dan memeriksa catatan pajak perusahaan.

Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan Kantor Pajak Pratama Jambi, Eko Herman Susilo yang menemui para mahasiswa mengatakan tidak dapat memberi penjelasan apapun terkait keterbukaan data pajak perusahaan. Ini terkait aturan yang mewajibkan kantor pajak menjaga kerahasiaan perusahaan wajib pajak. "Kami tidak boleh membuka data wajib pajak kepada publik sebelum kasusnya masuk peradilan," ujarnya.

Menurut Eko, pihaknya juga belum mengetahui adanya perintah dari Dirjen Pajak untuk memeriksa kasus tersebut, apalagi untuk menagih nilai pajak kepada perusahaan terkait. "Kami malah belum tahu soal itu," tuturnya.

Keala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Pratama Jambi Agus Winarso mengatakan, perusahaan distributor wajib membayar pajak atas pertambahan nilai setiap produk yang dijualnya kepada konsumen sebesar 10 persen. Perusahaan yang terbukti tidak membayar bakal dikenai nilai pajak atas produk yang dibelinya. "Nilainya tentu lebih besar. Wajib pajak sendiri yang akan merugi jadinya," kata Agus.

Pemerintah Pede Bisa Bayar Utang Rp 2.000 Triliun

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mengaku optimis bisa membayar utang negara sekitar Rp 2.000 triliun. Jumlah tersebut sekitar 23 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp9.000 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan pemerintah saat ini fokus untuk menjaga fiskal negara. Sebab, selama ini keuangan negara mengalami defisit karena sebagian besar keuangan negara digunakan untuk anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM).

"Kami mampu membayar karena jika dilihat dari segi bukan saja nominalnya tapi besarnya kapasitas membayar," kata Mahendra saat ditemui selepas Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR Jakarta, Senin (20/5/2013).

Mahendra menambahkan kapasitas membayar tersebut terlihat dari besaran PDB negara. Saat ini dengan kapasitas PDB sekitar Rp 9.000 triliun atau sekitar 1 triliun dollar AS menunjukkan kapasitas untuk beroperasinya mesin ekonomi Indonesia, termasuk untuk membayar utang negara.

Bila dibanding dengan utang di negara lain, jumlah utang Indonesia masih lebih rendah dan relatif masih bisa dikelola (manageable). "Kapasitas (untuk membayar utang) Indonesia masih nomor lima di dunia, artinya ini masih sehat. Jadi saya pikir secara relatif kita bisa (untuk membayar)," katanya.

Hingga saat ini, pemerintah sudah menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 ke DPR. RPABN tersebut terkait perubahan asumsi makro khususnya untuk 2014 mendatang. Untuk pembahasan RAPBN 2013, pemerintah akan mengaku meninggu sikap dari DPR. Pembahasan nanti juga akan dilakukan oleh Menteri Keuangan definitif, dalam hal ini Chatib Basri dengan DPR.

08 Mei 2013

Informasi dan Kepentingan


‘’Kalau ingin menguasai dunia, anda harus menguasai media.’’, Quote seseorang yang saya lupa namanya ini bagai omongan Kim Jong-un yang susah untuk ditolak, karna di tengah dunia yang semakin tua ini, informasi begitu penting, semua orang seperti zombie yang haus akan darah (informasi).

Bayangkan jika anda menguasai 80% media di suatu Negara. Dengan kekuatan media yang anda miliki, dengan bebas bisa memilih informasi apa yang perlu atau tidak perlu disebarkan. Bahkan, anda bisa membuat informasi sendiri. Itu melanggar UU pers? Who’s care?, Anda bisa membuat berita seolah-olah anda adalah pahlawan yang harus dibela. Atau anda mempunyai kepentingan politik? Hanya dengan durasi 1-2 menit anda bisa terlihat bak Imam Mahdi yang siap menyelamatkan umatnya dari gangguan orang kafir.

Paragraph yang terdengar seperti sebuah iklan di atas adalah bentuk promosi jika memiliki media. Di Italia, ada satu sosok yang bisa dibilang rajanya media di Negara yang kaya akan sejarah fasisme itu, sosok itu bernama Silvio Berlusconi, bagi pecinta sepakbola nama itu pasti tidak asing lagi, karna selain memiliki banyak media dia juga memiliki klub bola papan atas, AC Milan. Pria dengan kelainan seks itu memiliki perusahaan media bernama Mediasat, perusahaan itu memiliki tiga stasiun televisi nasional yang ditonton lebih dari 50% penduduk Italia, selain tiga media televisi dia juga memiliki dua media cetak yang sangat besar, yaitu Koran il Giornale dan majalah berita Panorama. Dengan kerajaan media sebesar itu apa yang di dapat Silvio Berlusconi? Selain laba (tentunya), Berlusconi berhasil menduduki jabatan perdana menteri Italia sebanyak tiga kali dan tercatat sebagai perdana menteri terlama dalam sejarah Republik Italia. Itulah yang didapat si Raja Media di Italia. Kekuasaan yang lebih besar.

Sebenarnya tak perlu jauh-jauh jika ingin melihat para pemilik media informasi menggunakan kapasitasnya ke bidang politik, di Negara kita tercinta ini sebelum merdeka sudah tertulis tentang peran pemilik media dan kepentingan politik. Di era Kolonial ada Cokroaminoto yang menggunakan surat kabar Oetoesan Hinda untuk kepentingan perlawanan terhadap Belanda, atau surat kabar Jong Sumatra yang digunakan oleh Hatta dkk selain untuk perlawanan juga untuk menunjukan eksistensi anak-anak muda Sumatra itu. Kemudian di era orde lama, di zaman itu ada surat kabar Harian Rakyat yang digunakan Partai Komunis Indonesia dalam hal kepentingan partai dan ideologinya. Zaman Soeharto, Media digunakan untuk menyebarkan berita yang menguntukan bagi kelangsungan pemerintahan waktu itu. 

Kembali ke era sekarang, era setelah reformasi, zaman yang sangat meng-agung-agung-kan ‘freedom of speech’. Orang yang menenggelamkam puluhan desa bisa dengan pongah-nya mencalonkan diri sebagai Presiden. Bermodalkan media yang dia miliki, ia bisa muncul tiap hari dengan omongan-omongan busuknya. Ada juga pemilik media yang lompat-lompat partai seenaknya (kesannya seperti menjual ideologi), ada yang kasusnya tidak sampai akhir, ada yang sibuk pencitraan dengan segala tingkah laku yang melanggar aturan (ironisnya banyak orang yang kagum). Beberapa waktu lalu, pernah ada tuntutan revisi undang-undang penyiaran tentang kepemilikan media masa, dan saya setuju dengan usulan tersebut dengan alasan bahwa informasi adalah hak mutlak masyarakat, apa jadinya jika hak –hak itu di monopoli oleh para penguasa?, yang terjadi adalah opini-opini yang bisa dibentuk, dan pembentukan opini itu berakibat pada sektor kebijakan publik. Silahkan anda tanggapi sendiri seberapa penting kebijakan publik.

Perbedaannya, dulu Cokroaminoto, Hatta, dkk mengguakan media untuk kepentingan bangsa, sekarang mereka menggunakan media untuk kepentingan pribadi. Maka dengan itu, untuk saat ini rasa sinis saya terhadap media masa bisa dibilang tinggi, anda boleh sebut saya orang yang naif, tapi saya hanya realistis dan enggan dibodohi oleh para bandit kapitalis. 

(Abdu Rizal Syam, Mahasiswa Jurusan Administrasi Negara UNAS Angkatan 2010)

Kualitas Versus Popularitas

Tinggal menghitung beberapa bulan lagi menuju tahun 2014, tahun yang disebut-sebut sebagai tahunnya politik dan pestanya demokrasi, tahun dimana bangsa Indonesia bersiap menentukan arah dan masa depan bangsa untuk kurun waktu 5 tahun kedepan dengan memilih kepala Negara (presiden dan wakil presiden) serta para pemangku jabatan legislatif yang berkedudukan di DPR. Semua bersiap untuk menyambut tahun tersebut, terutama yang paling berkepentingan pada hal tersebut ialah parpol/partai politik, organisasi yang menjadi tempat atau wadah aspirasi rakyat. 

Beberapa parpol pun mulai berbenah diri dengan slogan-slogan mereka yaitu tentang konsolidasi partai atau koordinasi partai, semua itu guna meraih kemenangan pada pemilu 2014, selain itu parpol juga harus menciptakan atau kata lebih tepatnya mencetak kader-kader yang berkualitas, kader-kader tersebut nantinya akan dicalonkan oleh parpol tersebut untuk mengikuti pemilu 2014 guna menduduki kursi legislatif, tetapi pada saat ini banyak parpol yang seharusnya mencetak kader-kader mereka malah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggaet atau merekrut artis-artis yang diproyeksikan untuk calon legislatif di pemilu tahun 2014, mereka mengira dengan menggaet artis untuk jadi caleg,akan mendongkrak perolehan suara parpol tersebut. 

Parpol-parpol tersebut bukanlah tanpa alasan melakukan cara itu, karena di Negara tercinta kita ini aspek elektabilitas sangatlah penting, kebanyakan rakyat kita memilih caleg bukanlah berdasarkan kualitas si caleg tersebut melainkan apakah caleg tersebut sudah familiarkah di mata mereka. Dengan alasan itulah banyak parpol menggandeng artis ibukota untuk jadi caleg, meskipun kedengarannya memang cara yang kurang baik, tapi cara instan itu sah-sah saja jika melihat paham 

Negara kita yaitu demokrasi, apakah lebih baik jika caleg-caleg yang dicalonkan itu seharusnya berasal dari kader-kader partai yang sudah dipersiapkan. Kader yang berkualitas secara utuh didalam politik, bukannya mengandalkan popularitas semata, dengan kata lain parpol telah menghianati kader-kader mereka dengan menggandeng caleg artis, inikah indikasi bahwa parpol sudah tidak mampu mencetak kader-kader yang berkualitas sehingga mereka memilih jalan alternative, apakah ini demokrasi yang kita inginkan, lebih mengutamakan kuantitas bukannya kualitas? 

Apa jadinya jika pada tahun 2014 nanti bangsa kita dipimpin oleh artis yang tiba-tiba yang disulap jadi politikus karbitan. Mungkin ini bagian dari proses demokrasi yang seutuhnya, mengingat demokrasi kita baru berjalan kurang lebih 15, bangsa kita masih dalam tahap belajar untuk memahaminya. Tapi, pertanyaannya apakah bangsa kita mau belajar berdemokrasi yang seutuhnya?

(Asta Purbagustia, Mahasiswa Jurusan Administrasi Negara UNAS Angkatan 2010)