18 Desember 2018

Ngopi (Ngobrol Pintar) 3



HIMAPUBLIK PRESENT
NGOPI ( Ngobrol Pintar )
Theme : Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia


     Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, masyarakat.

     Desentralisasi merupakan suatu istilah yang secara etimologis merupakan bahasa Latin yang terdiri dari kata de berarti lepas, dan centrum berarti pusat, sehingga bila diartikan, desentralisasi berarti melepaskan diri dari pusat. Maksud pengertian tersebut bukan berarti daerah dapat berdiri sendiri melepaskan diri dari ikatan negara, tetapi dari sudut ketatanegaraan, desentralisasi berarti pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dengan kata lain, daerah diberikan otonomi untuk menjadi daerah otonom. Menurut undang-undang 23 Tanun 2014 Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.

     Pada dasarnya upaya untuk menyelenggarakan desentralisasi di Indonesia sudah berjalan semenjak masa revolusi kemerdekaan (1945-1949) melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Kebijakan ini kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintah Daerah. Memasuki fase demokrasi parlementer (1950-1959) maka pemantapan penyelenggaraan desentralisasi ditindak lanjuti melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada masa revolusi kemerdekaan dan demokrasi parlementer tersebut, pemerintah menjalankan otonomi yang nyata dengan memberikan keleluasaan yang mengakar bagi pemerintah di daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat.

     Memasuki masa Reformasi, desentralisasi menjadi suatu agenda utama yang dijalankan untuk merespon harapan masyarakat yang menginginkan hasil-hasil pembangunan bisa dirasakan secara berkeadilan bagi seluruh warga negara Indonesia.Tepat tanggal 1 Januari 2001, kebijakan Desentralisasi resmi kembali dijalankan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dikemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan sekarang Undang-Undang 23 Tahun 2014. Selain menyentuh aspek pengelolaan pemerintahan, desentralisasi juga diarahkan pada aspek pengelolaan keuangan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

     Kedua produk kebijakan tersebut memberikan harapan baru bagi pemerintah Indonesia untuk menjalankan strategi yang berbeda dalam pengelolaan pemerintahan baik dalam aspek politik mauapun administratif. Pada aspek politik, kebijakan desentralisasi memberikan dasar bagi pertumbuhan demokrasi yang memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah dan komunitas lokal. Sedangkan secara administratif, pemerintah pusat dapat mengurangi beban tanggungjawabnya dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.

     Dalam sudut pandang administrasitf, maka terdapat dua aspek yang melatar belakangi pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dalam konteks penyedia layanan (agen pemerintah) dengan pengguna layanan (masyarakat). Hal ini erat hubungannya dengan rentang kendali pemerintahan. Seringkali dengan luasnya area teritorial suatu negara, kenhadiran nyata pemerintah di tengahtengah masyarakat yang berdomisili di lokasi-lokasi tertentu seperti pulau terluar atau daerah pendalaman nampak kurang terasa hangat. Sehingga desentralisasi menjadi instrumen pemecah kebuntuan bagi pemerintah pusat untuk meperkuat rentang kendali tersebut dan mengembalikan pengakuan masyarakat sebagai bagian yang terintegrasi dari suatu wilayh negara tertentu. Sedangkan dari aspek manajemen pemerintahan sejumlah hal justeru jauh lebih baik dikelola dalam tatanan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah :
  1. Perencanan spesifik di daerag dapat disusun oleh pemerintah menggunakan informasi yang detail dan mutakhir dan hanya tersedia di daerah tersebut.
  2. Koordinasi inter-organisasi dapat dicapai pada level pemerintah daerah sebab rentang koordinasi yang tidak terlalu luas.
  3. Eksperimentasi dan inovasi dapat dibantu perkembangannya melalui desentralisasi sehingga meningkatkan kesempatan untuk menyusun perencanaan pembangunan yang lebih efektif.
  4. Peningkatan motivasi pegawai pemerintah daerah sebab mereka memiliki tanggungjawab yang lebih besar terhadap program yang mereka kelola.
  5. Mereduksi terlalu penuhnya pekerjaan pada pemerintah pusat, sehingga mereka dapat melepaskan rutinitas pengambilan keputusan dan memiliki waktu lebih untuk mempertimbangkan issue strategis pada level nasional sehingga kualitas kebijakan terus meningkat.
     Peningkatan kinerja tersebut setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut Guna mengefektifkan perpindahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau kepada aktor non-pemerintah maka dibutuhkan sejumlah penyesuaian khususnya terkait dengan aspek pertanggungjawaban. Hal ini dimaksudkan agar pelimpahan kewenangan tidak berakibat pada terciptanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah daerah. Sehingga selaku pemegang otoritas awal pemerintah pusat tetap dapat memastikan bahwa tujuan strategis penyelenggaraan desentralisasi tetap dapat dicapai khususnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

     Dari penjelasan diatas maka timbulah suatu pertanyaan mendasar terkait dengan tema kita  yang menjadi bahan ngobrol pintar yaitu:

1.  Apa yang menjadi tantangan penyelenggaraan sistem pemerintahan desentralisasi saat ini?

Berdasarkan hasil ngobrol pintar ada terdapat beberapa tantangan yang masih terdapat pada sistem pemerintahan desentralisasi, diantaranya : 
  • Belum adanya kejelasan yang jelas terkait pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
  • Masih sangat terbatas dan rendah kapasitas aparatur pemerintah daerah.
  • Lemahnya pengawasan pemerintah
  • Penyalagunaan wewenang yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
  • Meningkatnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah karena lemahnya control pemerintah pusat.
  • Kurang adanya sumber daya manusia yang memadai dan tidak sesuai dengan spesialisasinya.
  • Pemerataan ekonomi kurang maksimal.
  • Tidak meratanya perhatian pemerintah terhadap suatu wilayah mengakibatkan pembangunan infrastruktur hanya terpaku pada suatu wilayah.
     Terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan dasar dalam penyelesaian problematika desentralisasi di Indonesia.
     Pertama adalah dibutuhkan memperjelas pembagian kewenangan antar dua level pemerintah lokal yakni Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini perlu diatur secara konstitusional sehingga ada kejelasan pembagian kewenangan antar dua level pemerintahan tersebut untuk bertanggungjawab atas sejumlah pelayanan lokal yang strategis agar menghindari tumpang-tindih urusan dan pembiyaan ganda.
     Kedua, daerah yang memperoleh limpahan daerah yang memperoleh limpahan kewenangan hendaknya memiliki kekayaan, anggaran dan dana cadangan yang memadai. Hal ini juga hendaknya didukung dengan kapasitasmenggalang penerimaannya sendiri sepanjang hal tersebut sesuai dengan substansi kewenangan yang dimilikinya. Oleh karenanya, penguatan kapasitas pemungutan pajak oleh pemerintah daerah merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari dalam konteks negara yang menjalankan kebijakan desentralisasi. Maka dari itu, perlu untuk kembali dipertimbangkan distribusi kewenangan pemungutan pajak baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
       Ketiga, pemerintah daerah harus memperkerjakan aparatur pemerintahan yang kompeten. Artinya aparatur pemerintah daerah hendaknya direkrut melalui merit sistem (sistem yang sesuai dengan regulasi), dipecat apabila tidak kompeten, dapat dialihkan ke pekerjaan lain atas alasan profesionalitas dan efektifitas kerja serta dipromosikan sesuai dengan masa kerja serta kinerja yang mampu ditunjukkannya. Oleh karenanya, program reformasi kepegawaian di lingkungan pemerintah daerah hendaknya mulai ditata secara sistematik dan rasional.
     Keempat, penguatan lembaga legislatif yang dipilih oleh masyarakat lokal sehingga mampu mengoperasikan garis kebijakan partai, memutuskan kebijakan dan menentukan prosedur internal dalam kepartaiannya. Salah satu penyebab lahirnya Perda bermasalah adalah lemahnya kapasitas lemabaga legislative daerah untuk menghasilkan Perda-Perda yang berkualitas. Oleh karenanya, rekruitmen politik yang dijalankan partai politik hendaknya lebih diperbaiki sehingga kualitas kader-kader mereka yang nanti akan ditempatkan di lembaga legislative bisa dipertanggung jawabkan.
     Kelima, administrasi pemerintah pusat sebaiknya melayani secara murni sebagai penasehat eksternal dan inspektor serta tidak memiliki peranan yang sangat strategis dalam kewenangan lokal. Oleh karenanya, penguatan kelembagaan pemerintah daerah harus menjadi prioritas dengan cara merampingkan struktur pemerintah pusat dan melakukan spesialisasi pekerjaan secara efektif di level pemerintah daerah.